Oleh : Ust. Abu Shalihah Muslim Al-Atsari
Bismillah,
Fitrah manusia apabila telah rusak, jika melihat al-haq (kebenaran) maka dia akan mengikuti dan mencintainya. Sehingga setiap kelompok manusia yang meyakini sesuatu dan memperjuangkannya, semua merasa di atas al-haq (kebenaran). Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka semua di atas al-haq, kemudian berlawanan satu dengan lainnya. Padahal al-haq itu satu adanya, dan tidak ada yang menentangnya kecuali kebatilan dan kesesatan.
Bismillah,
Fitrah manusia apabila telah rusak, jika melihat al-haq (kebenaran) maka dia akan mengikuti dan mencintainya. Sehingga setiap kelompok manusia yang meyakini sesuatu dan memperjuangkannya, semua merasa di atas al-haq (kebenaran). Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka semua di atas al-haq, kemudian berlawanan satu dengan lainnya. Padahal al-haq itu satu adanya, dan tidak ada yang menentangnya kecuali kebatilan dan kesesatan.
Dengan berpijak di atas al-Kitab dan as-Sunnah dengan bimbingan para ulama umat, kami persembahkan -bi idznillah- sedikit keterangan mengenai al-haq ini, mudah-mudahanan bermanfaat bagi kita semua.
I. MAKNA AL-HAQ
Secara bahasa, al-haq (kebenaran) berarti: Yang ada secara pasti; yang cocok dan sesuai dengan yang sebenarnya; yang ada dengan tanpa keraguan; yang bermanfaat; tidak sia-sia dan binasa.
Allamah Ar-Raghib Al-Ishfahani menyebutkan[1] bahwa makna al-haq (kebenaran) secara asal adalah: kesesuaian.
Kemudian, al-haq mempunyai beberapa makna:
1. Pencipta sesuatu dengan satu sebab yang menunjukkan hikmah (tidak sia-sia) oleh karena itulah Allah dikatakan Al-Haq.
2. Sesuatu yang diciptakan sesuai dengan tuntutan hikmah (tidak sia-sia). Oleh karena itulah seluruh perbuatan Allah adalah haq (benar).
3. Keyakinan terhadap sesuatu yang sesuai dengan sebenarnya, terhadap apa yang ada pada sesuatu tersebut. Seperti ucapan kita, "Keyakinan Fulan tentang al-ba'ts[2], pahala, siksa, surga dan neraka adalah haq."
4. Untuk perbuatan dan perkataan yang terjadi sesuai dengan apa yang semestinya, seukuran yang semestinya dan pada waktu yang semestinya. Kemudian beliau juga menyatakan bahwa al-haq (juga) berarti: Ketetapan yang sesuai dengan tuntutan hikmah.
Dalam Mu'jamul Wasith disebutkan arti al-haq, yaitu:
• Satu nama dari nama-nama-Nya (Allah) Ta'ala.
• Yang pasti dengan tanpa keraguan.
Di dalam An-Nihayah bab: Haqqaqa, disebutkan:
Di dalam nama-nama Allah terdapat nama Al-Haq, yaitu Yang benar-benar ada, dan keberadaan-Nya serta Hak-Nya untuk diibadahi adalah pasti. Dan (juga) Al-Haq adalah lawan dari Al-Bathil (kebatilan).
Sehingga ringkasnya, al-haq adalah sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam IbnuTaimiyah, yaitu al-haq itu ada dua jenis:
1. Haq Maujuud (kebenaran yang ada).
Kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalahmengetahuinya dan jujur di dalam memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkan lawannya adalah kebodohan dan dusta.
2. Haq Maqshuud (kebenaran yang dituju).
Yaitu yang bermanfaat bagi manusia. Kewajiban (manusia dalam hal ini -pent) adalah menghendakinya dan mengamalkannya. Sedangkan lawannya adalah menghendaki kebatilan dan mengikutinya.[3]
II. JALAN AL-HAQ DAN JALAN YANG MENYIMPANG
Dengan keterangan di atas bisa diketaui bahwa jalan al-haq itu ada dua, yaitu ilmu dan amal. Keduanya ini saling berkaitan, ilmu itu menuntut adanya amalan, sebaliknya adanya amal itu mengharuskan adanya ilmu yang mendasarinya.
Dengan adanya keduanya, jadilah ilmu itu yang na' (ilmu yang bermanfaat) dan jadilah amal itu yang didasari ilmu na' tersebut menjadi amal shalih. Hal ini diisyaratkan oleh Allah dalam beberapa tempat di dalam kitab-Nya, antara lain firman-Nya tentang orang-orang yang bertakwa,
"Mereka itulah berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 5)
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata pada tafsir ayat ini:
"Yaitu orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya, yang berupa iman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, menginfakkan sebagian rizki yang Allah anugerahkan kepada mereka, iman kepada apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul (Muhammad) dan Rasul-rasul sebelum beliau serta yakin adanya kampung ahkirat. Yang mana mengharuskan untuk menyiapkan diri dengan amalan-amalan shalih dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan."
Demikianlah, mereka menjadi orang-orang yang beruntung karena menggabungkan antara ilmu na' dengan amal shalih. Ilmu na' yang berupa iman kepada yang ghaib dan iman kepada apa yang Allah turunkan. Amal shalih yang berupa menegakkan shalat, berinfaq dan yakin adanya kampung akhirat."
Juga firman-Nya,
"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk (al-huda) dan agama yang haq". (Ash-Shaff: 9; At-Taubah: 33; Al-Fath: 28).
Al-Hafizzh Ibnu Katsir berkata pada tafsir ayat ini, dalam surat at-Taubah ayat 33:
"Al-huda (petunjuk) adalah apa yang dibawa oleh beliau (Rasulullah), yang berupa pemberitaan-pemberitaan yang benar, iman yang shahih dan ilmu na'. Sedangkan agama yang haq adalah amalan-amalan shalih, yang shahih,yang bermanfaat di dunia dan di akhirat."
Maka dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang berisi ancaman yang keras terhadap orang yang amalnya menyelisihi ilmu dan ucapannya. Allah berrman:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (Ash-Shaff: 2 - 3).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di berkata:
"Oleh karena inilah, bagi orang yang memerintahkan kebaikan, sepantasnya dia menjadi orang pertama yang bersegera melakukannya. Dan orang yang melarang dari keburukan (sepantasnya) dia menjadi orang yang paling jauh darinya.[4]
Imam Ibnul Qayyim berkata:
"Barangsiapa yang tidak mengenal al-haq, maka dia adalah orang yang sesat. Dan barangsiapa yang mengenal al-haq, akan tetapi lebih mementingkan selain al-haq, maka dia adalah orang yang dimurkai. Allah telah memerintahkan, agar di dalam shalat kita memohon supaya Dia membimbing kita di atas jalan orang-orang yang Allah berikan nikmat kepada mereka, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat. Oleh karena itulah orang-orang Nasrani (secara) lebih khusus mengalami kesesatan, karena mereka adalah umat yang paling bodoh. Sedangkan orang-orang Yahudi (secara) lebih khusus mendapatkan murka (Allah), karena mereka adalah umat yang membangkang. Adapun umat (Islam) ini adalah umat yang mendapatkan nikmat. Oleh karena itulah Sufyan bin Uyainah berkata, "Siapa di antara para ahli ibadah kita yang rusak, maka padanya itu ada keserupaan dengan orang-orang Nasrani. Dan siapa di antara para ulama kita yang rusak, maka padanya itu ada keserupaan dengan orang-orang Yahudi. Karena sesungguhnya orang-orang Nasrani beribadah dengan tanpa ilmu. Sedangkan orang-orang Yahudi, mereka mengenal al-haq, tetapi menyimpang darinya."
Dengan demikian jelaslah bahwa, Orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang mengenal al-haq dan mengikutinya. Sedangkan orang-orang yang celaka adalah orang-orang yang tidak mengenal al-haq sehingga mereka tersesat darinya. Atau orang-orang yang mengetahui al-haq tetapi mereka menyelisihinya dan mengikuti selainnya.
Oleh karena itu, Allah membersihkan Rasul-Nya dari dua hal tersebut dalam firman-Nya:
"Demi bintang ketika terbenam, kawanmu itu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula mengikuti hawa nafsu dan tidaklah dia berbicara menurut hawa nafsunya. (Ucapannya) itu hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 1 - 4).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Maka Dia (Allah) membersihkan beliau (Rasulullah) dari dhalal (kesesatan)dan dari ghawaayah (mengikuti hawa nafsu) yang keduanya itu adalah kebodohan dan kezhaliman. Orang yang sesat adalah orang yang tidak mengetahui al-haq, sedang orang yang ghawaayah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan Dia (Allah) memberitahukan bahwa beliau tidak berbicara menurut hawa nafsunya, bahkan itu adalah wahyu yang Allah wahyukan kepadabeliau. Maka Dia (Allah) mensifati beliau (Rasulullah) dengan ilmu dan membersihkan dari hawa nafsu."[5]
Sehingga obat dari kejahilan dan kesesatan, itu adalah ilmu na' (iman), sedang obat dari kezhaliman dan mengikuti hawa nafsu adalah adil, amal shalih, dan mengikutial-haq.
III. WAHYU ADALAH UKURAN AL-HAQ
Bahwa ukuran al haq adalah apa yang datang dari Allah berupa wahyu kepada Rasul-Nya, adalah suatu hakikat yang banyak disebutkan oleh Allah di dalam Al Quran, di antaranya:
"Maka jika engkau (Hai Nabi) berada dalam keraguan tentang apa yang kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang -orang yang membaca kitab sebelummu. Sesungguhnya telah datang al-haq (kebenaran) kepadamu dari Rabbmu, sebab itu janganlah engkau termasuk sekali-kali orang yang ragu-ragu." (Yunus: 94)
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelummu; yaitu kepada ahlul kitab yang telah masuk Islam dan beriman terhadap dakwah Nabi seperti Abdullah bin Salam, niscaya sesungguhnya mereka akan mengabarkan kepadamu bahwa ia (apa yang Kami turunkan kepadamu itu) adalah kitab Allah sebenar-benarnya dan engkau adalah Rasul-Nya serta bahwa taurat telah menyaksikan dan mengatakan hal itu[6]
Sesungguhnya telah datang al haq kepadamu dari Rabbmu; dalam (firman Allah) ini terdapat penjelasan yang mencabut keraguan, yaitu persaksian Allah bahwa yang mereka ragukan ini adalah al haq (kebenaran) yang tidak dicampuri oleh kebatilan dan tidak dinodai oleh kesamaran[7]
Diriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasullah bersabda:
"Aku tidak bimbang dan aku tidak akan bertanya."
Demikian dikatakan oleh Sa'id bin Jubair, al Hasan al Bashri dan Ibnu Abbas.[8]
Allah berrman: "Katakanlah: Hal manusia, sesungguhnya telah datng kepadamu dari Rabbmu." (Yunus: 108)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata:
"Allah Ta'ala berfirman memerintahkan Rasul-Nya supaya memberitakan kepada manusia, bahwa apa yang beliau bawa dari sisi Allah adalah al haq yang tidak ada kebimbangan dan keraguan di dalamnya."
Juga firman-Nya:
"Wahai manusia sesungguhnya telah datang Rasul itu (Muhammad) kepada kamu, dengan (membawa) al haq dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itu lebih baik bagimu." (An Nissa':170)
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini:
"Yaitu Muhammad telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang haq dan penjelasan yang memuaskan dari Allah. Maka, berimanlah dengan apa yang dia bawa dan ikutilah dia, itu lebih baik bagi kamu."
IV. AL-KITAB DAN AS-SUNNAH ADALAH WUJUD WAHYU ALLAH
Dengan demikian untuk menilai sesuatu itu hak atau batil (sehingga bisa dijadikan petunjuk dan sebagai tempat berhukum yang menuntaskan segala perselisihan serta membangun persatuan), tidak ada ukurannya kecuali wahyu Allah kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang berupa al Kitab (al Qu'ran) dan as Sunnah.
Allah berfirman:
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qu'ran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunujukitu dan pembeda (antara yang haq dengan yang batil)." (Al Baqarah:185)
Allah juga berrman:
"Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa al-haq, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah tunjukkan kepadamu." (An Nisaa': 105)
Sedangkan keharusan untuk berpegang teguh dengan as Sunnah, perintah untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah disebutkan banyak tempat dalam Al Qur'an. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diutugaskan untuk menerangkan Al Qur'an , sehingga penjelasan beliau harus diikuti.
Allah berfirman:
"Dan Kami turunkan peringatan (yaitu Al Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir." (An Nahl: 44)
Mengikuti Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bukti kecintaan seorang hamba kepada Allah. Firman Allah Ta'ala:
" Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan cinta kepada kamu, dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. " (Ali Imran: 31)
Beliau adalah teladan yang baik, sehingga harusnya diteladani oleh orang yang mengharapkan pahala Allah. Firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Rasulullah (Muhammad) itu adalah teladan yang baik bagimu, yaitu bagi siapa yang mengharapkan pahala Allah dan (balasan) hari akhir, dan senantiasa dia mengingat Allah." (Al Ahzab: 21)
Allah memerintahkan supaya kita menerima apa-apa yang diberikan oleh Rasulullah dan menjauhi apa-apa yang beliau larang. Firman Allah Ta'ala:
"Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu sekalian, maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al Hasyr:7)
Di antara sifat mu'minin adalah berserah diri dan tunduk secara mutlak kepada perintah Allah dan perintah Rasul-Nya. Firman-Nya:
"Sesungguhnya jawaban mu'minin, bila mereka dipanggil Allah danRasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka hanyalahucapan: 'Kami mendengar dan kami taat.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (An Nur: 51)
Juga firman-Nya:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu'min dan tidak pula patut bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memberikan keputusan (hukum) akan sesuatu urusan, bahwa mereka itu memilih urusan mereka. dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (Al Ahzab:36)
"Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuaitu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An Nisaa': 65)
Dan as Sunnah, adalah dasar kedua setelah Al Kitab yang segala perkara wajib dikembalikan kepada keduanya, firman-Nya:
"Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan itu kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir." (An Nisaa': 59)
Syaikh'Abdurrahman bin Nashir as Sa'di berkata pada tafsir ayat ini:
".....Kemudian dia memrrintahkan untuk mengembalikan apa saja yang diperselisihkan manusia, yang berupa pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada Kitab Allah dan sunnahRasul-Nya. karena sesungguhnya di dalam keduanya itu (terdapat) keputusan di dalam seluruh masalah-masalah khilafiyah, mungkin dengan (nash) yang tegas atau keumuman, atau isyarat, atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna. (Dimana) Apa-apa yang menyerupainya bisa dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya itu adalah bangunan agama, dan iman tidak akan lurus kecuali dengan keduanya. Maka mengembalikan kepada keduanya adalah syarat dalam keimanan. Oleh karena itulah Allah berfirman:
"Jika kalian benar-benar beriman kepadaAllah dan hari akhir."
Maka hal itu menunjukkan bahwa barangsiapayang tidak mengembalikan perkara-perkara perselisilihan kepada keduanya, bukanlah seorang mukmin yang sebenarnya. Akan tetapi, dia adalah seorang yang beriman kepada thagut, sebagiamana disebutkanb di dalam ayat berikutnya." (Ayat ke 60).[9]
Dengan demikian Al Kitab dan As Sunnah adalah jaminan kebenaran bagi orang yang mau berpegang teguh dengan keduanya, juga mendahulukan keduaya daripada selainnya baik berupa: akal, perasaan, pendapat imamnya atau kelompoknya, mimpi, kasyf (penyingkapan tabir ghaib sebagaimana diyakini orang-orang sufi), hikayat, dan sebagainya.
V. KEWAJIBAN MENGIKUTI AL-HAQ DAN MENJAUHI AL-BATHIL
Perkataan al haq (kebenaran) di dalam Al Qur'an terkadang lawan dari adh-dhalal (kesesatan) sebagaimana firman Allah:
"Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti al-batil dan sesungguhnya orang-orang beriman mengikuti al-haq dari Rabb mereka." (Muhammad: 3)
Al Quthurbi berkata dalam tafsir ayat ini di dalam kitab beliau "Al-Jaami' li Ahkamil-Qur'an":
"Para ulama kita berkata bahwa ayat ini memutuskan tidak ada posisi yang ketiga antara al haq dan al batil dalam masalah ini, yaitu masalah-masalah ushul (pokok), yang al haq itu hanya satu pihak dalam masalah ini. Karena pembicaraan (di ayat) ini hanyalah dalam mensifati adanya dzat, (yaitu) bagaimana ia (sebenarnya). Dan ini berbeda dengan masalah-masalah furu'. Maka kesimpulannya, al haq itu hanya satu, sedangkan berlawanan dengannya pastilah kebatilan atau kesesatan, dan tidak ada posisi ketiga setelah al haq dan al batil.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
Rasulullah membuat satu garis, kemudian bersabda: "Ini adalah jalan Allah. Kemudian beliau menggaris beberapa garis ke kanan dan ke kiri lalu bersabda: "Ini adalah "Subul" (jalan-jalan), dan di setiap jalan-jalan itu ada setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca (ayat 153, surat al-An'aam): "Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilahia dan janganlah kalian ikuti jalan-jalan lain, sehingga ia akan memisahkankalian dari jalan-Nya"[10]
VI. CONTOH-CONTOH AL-HAQ DAN AL-BATHIL
1. Al-Islam adalah agama yang haq, sedang agama-agama selainnya adalah batil.
Firman Allah:
"Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran:85)
Syaikh DR.Muhammad Sulaiman al-Asyqar berkata pada tafsir ayat ini dalam Zubdatut-Tafsir:
"Maka setelah diutusnya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak ada agama kecuali agama beliau dan tidak ada keselamatan pada hari kiamat bagi seseorang yang tidak beragama islam." Rasulullah bersabada:
"Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang dar iumat ini, baik seorang Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia menjadi penduduk neraka."[11]
2. Tauhid adalah haq; sedang syirik adalah batil.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"(Kekuasan Allah) yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah al Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain-Nya, itulah yang batil. Dan sesungghnya Allah itu, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Al Hajj: 62; Luqman: 30)
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsirnya, surat al Hajj ayat 62:
"Yaitu (Allah adalah) ilaahul-haq (Yang diibadahi dengan haq), yang dengan ibadah itu tidak pantas dipersembahkan kecuali untuk-Nya, karena Dialah yang memiliki kekuasaan yang agung, apa-apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan apa-apa yang tidak Dia kenhendaki tidak akan terjadi. Dan segala sesuatu butuh kepada-Nya, (dan) rendah disisi-Nya."
Juga firman-Nya:
"Dan barang siapa yang melakukan syirik terhadap Allah, maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang jauh." (An-Nisaa': 116)
Maka tauhidullah dengan bagiannya yang tiga: Tauhid Rububuyah, Tauhid Uluhiyah, dan Tauhid Asma wash-Shifat semuanya adalah haq.
Dan yang bertentangan dengan ini yang berupa syirik dengan seluruh keragamannya adalah batil.
3. Keimanan adalah haq, sedang kekafiran adalah batil.
Yang mana keimanan itu bermanfaat bagi pemiliknya dan kekafiran itu membahayakan pelakunya. Allah berfirman:
"Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu (manusia) bergolong-golongan. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka mereka di dalam taman (surga) bergembira. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (alQur'an) serta (mendustakan) menemui hari akhirat, maka tetap berada di dalam siksaan (neraka)." (Ar Ruum: 14-16)
4. Ketaatan adalah haq sedang kemaksiatan adalah batil.
Ta'at berarti mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, sedang maksiat adalah sebaliknya, yaitu meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan. Ta'at secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya adalah haq, sebab itu adalah perintah dari al Haq (Allah) yang seluruh perintah-Nya mengandung hikmah dan pasti membawa manfaat. Sebaliknya bermaksiat kepada Allah dan Rasu-lNya adalah batil dan pasti membawa kepada kerugian. Allah berfirman:
"Itulah ketentuan-ketentuan dari Allah. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang sungai-sungai mengalir di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka, sedang dia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan." (An Nisaa: 13-14)
5. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabat beliau adalah al haq; menyimpang darinya adalah kebatilan dan kesesatan.
Allah berfirman:
"Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah kebenaran jelas baginya, dan mengikuti (jalan yang ) bukan jalannya mu'minin, Kami biarkan dia leluasa terhadap (kesesatan) yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An Nisaa: 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang ayat ini:
"Keduanya itu saling berkaitan, maka setiap ornag yang menentang Rasul sesudah kebenaran jelas baginya, berarti dia telah mengikuti (jalan yang) bukan jalannya mu'minin. Dan setiap orang yang telah mengikuti (jalan yang) bukan jalannya mu'minin berarti dia telah menentang Rasul sesudah kebenaran jelas baginya. Akan tetapi jika dia menyangka dia adalah orang yang mengikuti jalan mu'minin, padahal dia keliru, maka dia sama kedudukannya dengan orangyang menyangka bahwa dia adalah orang yang mengikuti Rasul, padahal dia keliru."[12]
Orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat itulah firqahan-najiyah (golongan yang selamat) di antara 73 firqah yang diberitakan Rasulullah di dalam hadits-haditsnya yang masyhur. Mereka itulah Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Rasulullah bersabda:
"Dan Umatku akan terpisah (terpecah) menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan, (yang menjalani) apa yang aku dan para sahabatku di atasnya."[13]
Abul 'Aliyah berkata: "Hendaklah kalian berpegang dengan urusan yang pertama yang mereka (para sahabat) jalani sebelum mereka berselisih."[14]
Al Auza'i berkata:
"Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah. Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Katakanlah dengan apa yang mereka katakan. Tahanlah (diamlah) dari apa yang mereka tahan (diam), dan berjalanlah di atas salaf (pendahulu)mu yang shalih, karena hal itu akan melonggarkanmu apa yang melonggarkan mereka."[15]
Dengan demikian, apa saja yang menyimpang dari Sunnah Rasulullah dan sunnah sahabat adalah kebatilan. Begitu pula semua bid'ah di dalam perkara agama adalah kesesatan dan kebatilan, baik dalam bidang: aqidah, muamalah, tafsir al Qur'an dan lain-lain.
VII. SETIAP KELOMPOK MENGAKU DI ATAS AL-HAQ
Karena trah manusia memang menyukai al haq, maka setiap kelompok manusia, walaupun berbeda-beda bahkan saling bertentangan, mereka merasa di atas al haq, di atas petunjuk dan kebaikan. Yang hal itu semua diputuskan oleh al Haq (Allah) pada hari yang haq (Kiamat) dengan putusan yang haq dan adil. Orang-orang musyrik yang sesat, mereka menyangka berada di atas petunjuk.
Allah berrman:
"Sebagian diberinya petunjuk dan sebagian lagi telah tetap kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapatkan petunjuk." (al A'raf: 30)
Orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, sehingga sia-sia perbuatan mereka, mereka mengira bahwa mereka telah berbuat baik. Padahal amal kebaikan itu akan diterima dan dibalas oleh Allah apabila dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan dilakukan oleh orang yang beriman. Firman Allah tentang mereka:
"Katakanlah: 'Apakah Kami akan beritakan kepada kalian tentang orag-orang yang paling rugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatan mereka di kehidupan dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap perjumpaan dengan-Nya, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak akan memberatkan timbangan (kebaikan) untuk mereka pada hari kiamat."(Al Kah: 103-105)
Bahkan sampai Fir'aun pun menyangka bahwa dia di atas kebenaran. Firman-Nya:
"Fir'aun berkata: 'Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik, dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar." (Al Mu'min: 29)
Itulah kalau nilai kebenaran diserahkan kepada akal manusia semata atau perasaannya atau hawa nafsunya, niscaya tidak akan terjadi kesepakatan dan persatuan.
Tidak ada jalan lain untuk memutuskan perselisihan itu kecuali dengan kembali kepada kitab Allah yang haq, sunnah rasul-Nya yang haq, dengan meniti jalan Salafush-Shalih dari kalangan sahabat, Tabi'in dan Ta'biut Ta'bi'in dan para ulama yang meneruskan jejak mereka sampai kiamat.
VIII. HAL-HAL YANG BISA MEMBANTU UNTUK MENCAPAI AL-HAQ[16]
Setelah taufiq dan hidayah dari Allah, ada banyak sarana yang bisa dijalani oleh seseorang untuk mendapatkan al haq, di antaranya :
1. Taqwa kepada Allah.
Allah berrman:
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan pembeda (antara al haq dengan al batil) bagimu." (Al Anfal: 28)
Ibnu Katsir berkata pada tafsir ayat ini:
"Karena sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, niscaya dia diberi taufiq (bimbingan) untuk mengetahui al haq dari yang batil."
2. Ikhlas.
Seorang pencari al haq tidaklah cukup untuk sekedar mengetahui al haq saja.Tetapi haruslah disertai dengan usaha mengamalkannya dengan ikhlas karena Allah. Sehingga dia selamat dari penyakit-penyakit kebodohan, kezhaliman, hawa nafsu, kesombongan dan lainnya. Hal itu semua akan berakibat menolak al haq.[17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Dan demikian pula orang yang berpaling dari mengikuti al haq yang dia ketahui, disebabkan mengikuti hawa nafsu. Maka sesungguhnya hal itu akan mengakibatkan kebodohan dan kesesatan pada orang tersebut. Sehingga membutakan hatinya dari al haq yang nyata."[18]
3. Berdoa kepada Allah.
Barang siapa berlaku ikhlas dan berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai alhaq serta berdo'a dengan penuh kesungguhan, maka hal itu termasuk salah satu sarana untuk mendapatkan al haq.
Allah berrman:
"Dan Rabb kalian berrman: "Berdo'alah kalian kepadaKu, niscaya Aku akan mengabulkan untukmu." (Ghafir: 60)
Bahkan Rasulullah memberikan teladan kepada umatnya, sebagaimana dikatakan ummul-mukminin Aisyah yang artinya:
"Kebiasan Rasulullah apabila berdiri (shalat) waktu malam, beliau membuka shalatnya (dengan doa iftitah): "Allaahumma.." yang artinya: "Wahai Allah, Penguasa Jibril, Mikail, dan Isral, Pencipta langit-langit dan bumi, Yang mengetahui yang tidak tampak dan yang tampak, engkau akan mengadili hamba-hamba-Mu tentang apa yang telah mereka perselisihkan padanya, bimbinglah aku menuju al haq dengan izin-Mu dari perkara yang diperselisihkan. Sesungguhnya Engkau kehendaki jalan menuju jalan yang lurus."[19]
4. Memperhatikan Al Kitab dan As Sunnah.
Al Kitab dan As Sunnah adalah sumber pengambilan al haq, al huda (pertunjuk) dan cahaya. Dengan keduanya bisa dipisahkan antara al haq dan al batil dan antara al huda dengan adh dhalal (kesesatan).
Allah berrman:
"Dan Kami turunkan peringatan (al Qu'ran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada merekadan supaya mereka berpikir." (An Nahl: 44)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Apabila seorang hamba membutuhkan Allah dan berdoa kepada-Nya serta memperhatikan kalam Allah, sabda rasul-Nya dan perkataan para Sahabat, Tabi'in dan imam-imam muslimin, niscaya jalan petunjuk terbuka baginya."[20]
5. Mengikuti jalan salafus shalih.
Generasi Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ut-Tabi'in adalah generasi terbaik manusia berdasarkan kesaksian Rasulullah. Mereka adalah sebaik-baiknya manusia setelah para nabi. Orang yang menyimpang dari jalan mereka diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam Jahannam di akhirat, sedangkan di dunia diancam dengan kesesatan. (An Nisaa': 115).
Allah memuji orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik, di dalam firman-Nya:
"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Mujahirin dan orang-orang Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah." (at-Taubah: 100)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Oleh karena itulah mengetahui perkataan-perkataan mereka tentang ilmu dan agama serta (mengetahui) amalan-amalan mereka (adalah) lebih baik dan lebih bermanfaat, daripada mengetahui perkataan Mutakhirin (orang-orang setelah tiga generasi utama-pen) dan (mengetahui) amalan-amalan mereka dalam seluruh ilmu-ilmu agama dan amalan-amalannya. Seperti tafsir, ushuluddin (pokok-pokok agama), furu'uddin (cabang-cabang agama), zuhd, ibadah, akhalq, jihad dan lainnya. Karena sesungguhnya salafus shalih lebih utama daripada orang-orang setelah mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh al Kitab dan as Sunnah."[21]
6. Persahabatan Yang Baik
Persahabatan yang baik sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk mengenal dan mengikuti al haq. Oleh karena itulah Rasulullah bersabda:
"Seseorang itu menurut agama sahabat dekatnya, maka hendaklah seseorang dari kalian memperhatikan dengan siapa dia bersahabat." [22]
Abdullah bin Syaudzab berkata:
"Sesungguhnya di antara nikmat Allah kepada seorang pemuda, adalah jika dia beribadah, dia bersaudara dengan Shahibus Sunnah yang membawanya menuruti sunnah."[23]
Inilah di antara sarana-sarana yang bisa mengantarkan kepada al haq, mudah-mudahan Allah membimbing kita semua untuk mengetahui al haq dan mengikutinya. Allahlah yang memberikan petunjuk menuju kebenaran.
Semoga bermanfaat..........
(Disalin dari majalah As-Sunnah 12/III/1420 H, hal 11 - 20. Di-download dari http://www.vbaitullah.or.id)
________
Footnote :
[1] Mu'jam Mufradat Al-Fauzhil Qur'an hal. 124 - 125, penerbit Darul Fikr tanpa tahun.
[2] Dibangkitkannya makhluk dari kuburnya di hari kiamat.
[3] Majmu' Fatawa XV/241.
[4] Taisirul Karimir Rahman i Tafsir Kalamil Manan VII/366.
[5] Majmu' Fatawa III/383.
[6] Zubdatut-Tafsir min Fathil-Qadir, surat Yunus 94, Syeikh Dr Muhammad Sulaiman 'Abdullahal-Asyqar.
[7] Ibid.
[8] Tafsir al-Quran al-'Azhim.
[9] Taisirul-Karim ar rahman 1/214.
[10] Hadits Shahih Riwayat an-Nasai di dalam Sunan al-Kubra no: 9215,9281, Ahmad (II/318) dan ad-Darimi (I/435,465).
[11] HR. Muslim, Kitab: Al Iman, dari Abu Hurairah.
[12] Kitab Al Iman hal: 35 oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, penerbit: Al Maktab al Islami, cet:III, tahun:1408 H/1988 M.
[13] HR. at Tirmidzi; Kitab Al Iman, no: 2641 dan lain-lain, dihasankan oleh Syeikh al Albani di dalam Shahih Jami'ush-Shaghir no: 5343.
[14] Riwayat Ibnul Jauzi, Talbis Iblis hal: 8.
[15] Riwayat al-Lalikai, al-Ash-bahani, dan Ibnul Jauzi di dalam Talbis Iblis, hal: 8-9.
[16] Disadur dari kitab: Wujubu Luzumil-Jama'ah wa Tarkit-Tafarruq. hal: 349-353, oleh: Jamalbin Ahmad bin Basyir Baadi.
[17] Lihat pada bagian 2 halaman 2.
[18] Majmu' Fatawa : X/10.
[19] HR. Muslim dalam kitab: Shalat al Musarin; Abu Dawud (767) dan Ibnu Majah (1357).
[20] Majmu' Fatawa: V/118.
[21] Majmu' Fatawa: XII/24.
[22] Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, at Tarmidzi, Ahmad dan al Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no: 927.
[23] Riwayat Ibnu Baththah dalam Al Ibanah: I/205, no:43 dan Al Lalikai dalam Syarh Ushul I'tiqad Ahlis-Sunnah wal Jama'ah: I/60 no:31.
Sumber : Catatan Al Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/notes/abu-muhammad-herman/kebenaran-makna-ukurannya-oleh-ustadz-abu-shalihah-muslim-al-atsari/10150278273280175
Sumber : Catatan Al Akh Abu Muhammad Herman
http://www.facebook.com/notes/abu-muhammad-herman/kebenaran-makna-ukurannya-oleh-ustadz-abu-shalihah-muslim-al-atsari/10150278273280175
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar