PENDIDIKAN BERKARAKTER

Bookmark and Share

Topik besar yang akan diangkat dalam KGN 2011 adalah tentang Pendidikan Karakter. Fakta dan kondisi masyarakat dalam beberapa waktu ini (khususnya tahun 2011) yang begitu memprihatinkan, dimana budaya korupsi terdengar hampir di setiap tingkatan masyarakat, perselisihan dan tawuran massal terjadi bukan hanya di murid-murid sekolah, tetapi juga melibatkan antar suku, agama, ras dan golongan, kredilibitas pemerintah yang semakin diragukan karena dianggap membohongi publik, dan lain-lainnya. "Kemana arus akan membawa masyarakat negara ini?", adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh semua orang.
Namun satu hal yang pasti adalah kita harus berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi ini, yang mana salah satunya adalah melalui pendidikan generasi penerus. Anak-anak kita, melalui Gurunya, harus disadarkan akan kebobrokan kondisi ini. Dengan demikian baru kita dapat berharap generasi berikut akan lebih baik.
Banyak ahli, tokoh, birokrat, budayawan, rohaniwan, sampai Ibu rumah tangga yang prihatin dengan kondisi ini, dan mengeluarkan statement dengan istilah-istilah masing-masing, yang diantaranya misalnya: "tidak bermoral", kurangnya pendidikan budi pekerti, pentingnya pendidikan nilai, minimnya pendidikan rohani, sampai pada kerinduan akan pendidikan Pancasila. Yang mana dari semua statement tersebut akhirnya bermuara pada 2 hal yaitu: Karakter Manusia, dan Pendidikan di Sekolah.
Pendidikan Karakter tentu tidak dapat langsung dihubungkan begitu saja dengan kepercayaan agama tertentu, budaya golongan dan ras tertentu, apalagi sekedar persepsi dan harapan orang-orang tertentu. Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa apapun karakter yang akan di-didikan di sekolah, haruslah sesuai dan kontekstual dengan kebutuhan anak-anak didik dalam menghadapi masa depannya. Untuk itu pendidikan karakter haruslah mendasar pada kebenaran-kebenaran universal, diaplikasikan secara holistik dalam keseluruhan pendidikan dan persekolahan, tidak sekedar diletakkan sebagai mata pelajaran dan teori.

Fenomena yang menarik adalah ketika dunia pendidikan asyik menciptakan siswa-siswi cerdasdengan memberikan beban pelajaran super berat dan banyak, padahal dengan beban pelajaran yang tinggi, energi guru dan siswa terbuang percuma karena mereka sadar hanya 5 – 10 % siswa saja yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik.
Hal ini tentu menjadi bumerang bagi dunia pendidikan Indonesia karena jelas-jelas mengabaikan 90% siswa dengan kemampuan dibawah rata-ratadan dianggap tidak memiliki nilai akademis tinggi. Bahwa dikatakan bumerang karena siswa dengan nilai akademis rendah dan sedang menempati porsi terbesar di negara Indonesia, maka yang terjadi adalah pendidikan Indonesia menciptakan jurang dikotomi terhadap hak-hak pendidikan yang layak bagi 90% komunitas ini.
Kebalikan dari negara Jepang, pendidikan di Indonesia justru menyiapkan seluruh siswa-siswi kita menjadi ahli pemikir dan ilmuwan. Sedangkan di Jepang, mereka sadar bahwa tidak semua siswa itu cerdas dan memiliki potensi yang sama. Kecerdasan bukan hanya potensi akademik, tapi ada beraneka ragam dimensi kecerdasan yang sifatnya konkrit, seperti ketrampilan, seni, olahraga dan kegiatan non akademik lainnya.
Kenyataan bahwa hanya ada 5-10% manusia cerdas ditiap negara membuat Jepang mempersiapkan pendidikan berkarakter untuk membentuk 90% siswa-siswinya yang merupakan penduduk mayoritas. Walhasil, negara Jepang kini menjadi negara maju dan disiplin bukan karena kecerdasan semata, tetapi karakter kuat dari penduduk mayoritas yang telah digembleng dalam masa pendidikan. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar