Mendongkel Kekuasaan Soekarno

Bookmark and Share
IWAN2REAL. Pada 1961-an, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak oleh asing di Indonesia. Sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing menjadi jatah pemerintah. Kebanyakan gerah dengan peraturan itu.

Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.

Soeharto yang propemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. "Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu," kata Asvi saat dihubungi merdeka.com, Kamis malam pekan lalu.

Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. "Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya," ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.

Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.

Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun, Asvi menjelaskan usaha pihak luar ingin mendongkel kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat.

Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dterbitkan majalah Probeedisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis pada awal November 1965, Langbourne Williams, ketua dewan direktur Freeport, menghubungi direktur Freeport, Forbes Wilson. Williams menanyakan apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua. Wilson hampir tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa.

Setahun sebelumnya, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di Eropa. Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan dalam waktu dekat Indonesia akan beralih ke Barat.

Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia, setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.

Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan BBangsa.Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Sedangkan dalam telegram berkode Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, menyatakan ada pertemuan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat bila Presiden Soekarno meninggal.

Kelompok dipimpin Jenderal Soeharto bergerak lebih jauh dari rencana itu. Soeharto mendesak Angkatan Darat segera mengambil alih kekuasaan tanpa perlu menunggu Presiden Soekarno berhalangan.

Setelah peristiwa 30 September 1965, keadaan negara berubah total. Usaha Freeport masuk ke Indonesia semakin mudah. Sebagai bukti adalah pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

Bukan saja menjadi lembek, bahkan Indonesia menjadi sangat tergantung terhadap Amerika. "Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan komunis yang konon bantuannya itu dengan senjata," tutur Asvi.(Sumber : MERDEKA.COM )

Ekspedisi Wilson berkah Freeport 

Tidak ada yang menyangka buku laporan pendakian puncak Jaya Wijaya, Papua, ditulis oleh Jean Jaques Dozy pada 1936 adalah muasal pertambangan Freeport di Indonesia. Laporan itu menceritakan ketakjubannya melihat keindahan alam Papua. Selain itu, dia terperanjat melihat kandungan logam dan hamparan luas bijih tembaga hingga permukaan. Pemandangan itu sangat tidak lazim untuk wilayah ketinggiaan sampai dia menyebut gunung tembaga (Erstberg) dalam laporan itu.

Sayangnya, laporan bernilai itu terbengkalai di perpustakaan Belanda hingga berdebu. Tidak ada yang menindaklanjuti. Maklum saat terbit, kondisi dunia tidak mendukung, menjelang berkecamuknya Perang Dunia Kedua melibatkan banyak negara, termasuk Belanda.

Pertengahan 1959, revolusi mengatasnamakan rakyat berlangsung di Kuba dipimpin oleh Fidel Castro. Fidel Castro berhasil merebut Kota Havana hingga memaksa rezim diktator Batista hengkang. Kebijakan berubah. Castro segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing beroperasi di Kuba, termasuk Freeport Sulphur kala itu siap mengapalkan biji nikel produksi perdana.

Pada Agustus 1959, berlangsung pertemuan antara Forbes Wilson, direktur dan pakar ahli pertambangan Freeport dengan Jan van Fruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company. Dalam rapat itu, Jan van Fruisen bercerita kepada Wilson isi buku Dozy ditemukan dalam kondisi berdebu. Wilson kemudian tertarik dengan laporan Dozy soal gunung tembaga itu.

Wilson dan rombongannya pada februari 1960 mengunjungi lokasi seperti ditulis Dozy. Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi wilayah pegunungan itu. Hasil penelusuran itu dituangkan dalam buku Conquest of Copper Mountain. Persis Dozy, Wilson menuliskan kekagumannya akan hamparan mineral tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dia juga menulis kesannya mengenai Mozes Kilangin, pemuda dari suku Amungme yang menemani dia dalam ekspedisi itu.

Saat mencapai gunung tembaga disebut kawasan Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di atas permukaan tanah. Dalam bukunya itu, Wilson menyebut wilayah itu sebagai tempat terjadinya mineralisasi tidak lazim di atas ketinggian dua ribu meter dari permukaan laut. Dia memperkirakan kandungan logamnya mencapai 40-50 persen bijih besi, tiga persen tembaga, dan masih terdapat emas dan perak di dalamnya.

Dia melaporkan lewat kabel temuan itu kepada Presiden Freeport Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Dia menyebut dari areal 14 hektar, hanya satu hektar tanpa bijih tembaga. Sedangkan kedalaman baru mencapai seratus meter.

Setelah menganalisis laporan Wilson, konsultan tambang Freeport memperkirakan akan mendapat 13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman seratus meter. Perlu sekitar USD 60 juta dolar untuk mengeksplorasi kawasan itu. Ongkos produksi saat itu USD 16 sen per pon dan harga jual USD 35 sen saban pon. Dengan begitu, Freeport menduga modal investasi akan balik dalam tiga tahun.

Itulah sebagian dari isi artikel Lisa Pease berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dimuat majalah Probeedisi Maret-April 1996. Laporan ini kini tersimpan di National Archieve, Washington DC, Amerika Serikat. National Archieve adalah lembaga independen menyimpan dokumen catatan sejarah dan dokumen. Lembaga ini bertanggung jawab memelihara dan menerbitkan salinan hukum asli dan otoritatif dikeluarkan oleh kongres, pernyataan presiden dan perintah eksekutif, serta federal.

Pimpinan Freeport begitu gembira dengan kemungkinan keuntungan bakal diperoleh. Namun, saat proyek tambang akan dimulai, hubungan Belanda dan Indonesia kian memanas memperebutkan Irian Barat. Akhir 1961, Presiden Soekarno memerintahkan pendaratan pasukan di wilayah itu.

Pihak Freeport semakin jengkel dengan sikap Presiden John Fitgerald Kennedy karena lebih memihak Indonesia. Belum lagi dengan sikap Amerika menghentikan bantuan pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia Kedua (rencana Marshal) untuk Belanda. Freeport sebenarnya lebih cemas kepada Soekarno yang gencar dengan prinsip nasionalisme dan antikolonialisme.

Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu turun tangan dan akhirnya memutuskan membentuk pemerintahan transisi di Irian Barat. Kemudian diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, untuk memutuskan apakah rakyat Papua akan memilih bergabung dengan Indonesia atau Belanda.

Dalam laporan Lisa, dua tahun sebelum Pepera, Freeport sudah mendapat Kontrak Karya Pertama pada 50 April 1967. Perjanjian bisnis ini berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang. Lisa juga menemukan Freeport melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan izin dan perpanjangan kontrak karyanya.

Adriana Elisabeth, peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan masalah Freeport sampai saat ini masih gelap dan belum lengkap. "Adanya izin tambang Freeport di Papua itu mengikutsertakan politik tingkat tinggi, maka perlu konfirmasi semua pihak. Kadang orang membicarakan masalah Freeport dengan campur aduk, mulai dari efek Kontrak Karya Pertama hingga masalah pemberdayaan masyarakat. Itu dua masalah panjang dan berbeda," katanya kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar